MENGEJAR MAAF BUNDA
ESPEROKU
17.29
0
Cerita Pendek
MENGEJAR MAAF BUNDA
Khansa Pramestiara IX D
Ara merupakan gadis baik di lingkungan sekolahnya. Menyapa
guru, membantu teman sering ia lakukan. Sehingga ia mendapat julukan “Si Gadis
Baik”. Ara adalah anak kesayangan ibunya. Ia hanya tinggal bersama ibunya. Karena
sudah 12 tahun bapaknya meninggalkan mereka. Beruntung mereka sudah hidup berkecukupan.
Si Gadis Baik itu sekarang duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Entah mengapa Ara sering melakukan kesalahan kepada orang tua. Dengan cara sengaja atau tidak ia setiap kali membuat ibunya kecewa. Memang setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun, sopan santun merupakan hal terpenting dalam masyarakat harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meningkatkan perilaku sopan santun barangkali Ara dapat mengurangi kekecewaan hati ibunya, bahkan mungkin akan membuat ibunya sangat bahagia.
Entah mengapa Ara sering melakukan kesalahan kepada orang tua. Dengan cara sengaja atau tidak ia setiap kali membuat ibunya kecewa. Memang setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun, sopan santun merupakan hal terpenting dalam masyarakat harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meningkatkan perilaku sopan santun barangkali Ara dapat mengurangi kekecewaan hati ibunya, bahkan mungkin akan membuat ibunya sangat bahagia.
Sikap Ara ketika di rumah dan di sekolah memang jauh
berbeda. Di sekolah Ara disebut anak yang baik. Mau menyapu kelas. Merapikan
buku-buku saat di perpustakaan. Namun, ketika di rumah, ibunya menilai Ara
sebagai anak pemalas. Dari mengepel, mencuci, menyiapkan makanan, dan merapikan
tempat tidur, semua dikerjakan oleh ibunya. Hanya karena sebagai seorang ibu
maka semua pekerjaan itu dilakukan dengan ikhlas demi anaknya yang tersayang.
Hingga suatu hari bunya meminta tolong kepada Ara.
“Nak, tolong belikan ibu obat pening.” Pinta ibunya
saat ara duduk di ruang tamu.
“Sekarang bu? Ah malas banyak tugas sekolah! Beli
sendiri saja ya, Bu!” Ucap Ara dengan dengan nada datar tanpa merasa bersalah.
“Ya sudah! Ibu minta maaf! Tapi tolonglah ibumu sekali
ini! Kepala ibu terasa pening sekali nak.” Pinta ibunya kembali menghiba.
“Engga maulah, lagi banyak tugas koh! Sudahlah, Bu, beli
saja sendiri!” jawab Ara
Dengan terpaksa ibunya, Ibu Leni, keluar rumah untuk membeli obat. Mukanya sangat pucat. Letak
apotik sekitar lima puluh meter dari rumahnya. Di tengah jalan ia bertemu
dengan Via, anak perempuan tetangga. Via tertegun saat melihat mukanya yang
pucat, tampak sakit.
“Bu Leni, mau kemana, Bu? Kok wajah ibu pucat sekali?”.
“Eh nak, Via. Iya ini nak, ibu mau beli obat, ibu pening
sekali” jawab Bu Leni.
“Oh begitu iya Bu, kenapa ibu tidak menyuruh Ara saja
untuk membeli obat!” Ucap Via.
“Si Ara lagi ada banyak tugas, jadi ibu tidak berani
mengganggu Ara” jawab Ibu Leni, ”Ibu duluan ya nak!” lanjut Bu Leni.
Bu Leni pergi meninggalkan Via untuk membeli obat ke
apotek langganannya. Sesampainya di apotek ia dilayani oleh dua orang pelayan
apotek yang juga sering melayani Bu Leni.
”Mbak, obat pening!” kata Bu Leni kepada salah satu
penjaga apotek dan ia yakin si pelayan tahu obat pening yang ia maksud.
“Aduh, maaf, Bu. Obat pening yang biasa untuk Ibu kebetulan
sedang habis, Bu!” jawab pelayan apotek dengan wajah memelas.
“Oh begitu ya mbak! Iya sudah mbak, makasih”.
“Iya sama-sama, Bu!” ucap kedua pelayan bersamaan.
Bu Leni pun segera meninggalkan apotek dengan raut
muka yang semakin pucat dan tak berdaya lagi. Sesampainya di depan rumah
tiba-tiba Bu Leni, kehabisan tenaga. Berpegang pada sebatang pohon di depan
rumah, secara perlahan tubuhnya melorot, terkulai dan pingsan. Beberapa tetangga
yang kebetulan melihat berteriak dan segera berlari untuk menolongnya. Bu Leni pun
digotong masuk ke dalam rumah.
Ara yang sedang bersenang-senang di dalam kamar dengan
head set di telinganya tidak mendengar teriakan para warga. Dia sadar ketika
pintu kamarnya dibuka oleh Via. Seketika itu Ara pun terbeliak matanya, ia
melihat beberapa tetangga sedang berusaha menyadarkan ibunya. Melihat ibunya
terbujur tak berdaya Ara pun hatinya tercekat. Ia tertunduk lemas dengan debar
jantung berkejaran. Segera Ara mengelus pipi ibunya dan memanggilnya.
Ara tertunduk lesu di samping ibunya, hati kecil Ara
berkata “Ya Allah, maafkan Ara karena telah mengabaikan ibuku ini! Jangan kau
ambil dulu ibuku ini, karena aku masih sayang padanya! Aku janji jika ibuku ini
sudah sadar aku akan merawatnya sampai dia sembuh dan aku akan menuruti semua
perkataan dan perintah dari ibu”.
Perlahan sekali ada gerakan di pelupuk mata Ibunya. Ibunya
sedikit sadar.
“Ibu!” panggil Ara di bawah perhatian para tetangganya
yang ada di rumah itu.
“Ara..” suara ibunya pelan, “Maafkan ibu ya, karena
ibu sering merepotkanmu!” jawaban Ibunya sambil menoleh menatapnya sayu. Ara
menjawab perkataan ibunya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Tidak Ibu, yang harusnya minta maaf itu Ara, bukan
Ibu. Maafkan Ara, karena selama ini Ara tak berbakti pada Ibu!”
“Iya nak, ibu memaafkanmu dari dulu! Mulai sekarang
jaga dirimu baik-. . . . . ”. Sebelum ibunya selesai berkata tiba-tiba kepala ibunya
terkulai kembali. Terkesiap hati Ara. Ara langsung menangis dan berteriak!
“Ibu...! Jangan tinggalkan Ara, Bu!”
Ketika Bu Leni dibawa oleh para tetangga ke Rumah
Sakit, dalam perjalanan Ara berjanji akan menjadi anak yang sangat berbakti
pada ibunya. Karena takutnya ia sampai membayangkan ibunya telah meninggal
dunia. Ara sempat pula membayangkan dirinya tinggal di sebuah panti asuhan.
“Ibu ...!” teriaknya panjang sekali di dalam hati.
Sejak kejadian tersebut kini Ara menjalani kehidupan
barunya, menjadi seorang Ara yang penurut dan berbakti pada Ibunya. Dan kembali
menjalani hidup berdua bersama ibunya dengan lebih bahagia.
====
Tidak ada komentar